Kamis, 11 Juni 2020

Dingdong 4

"Sejak musim corona, pendapatan warung sangat menurun. Dilain sisi, saya juga butuh uang 10 juta per bulan untuk bayar cicilan investasi tanah," curhat seorang Pemetik Harpa di depan jalan masuk masjid raya pasca sholat Jum'at. 

Syukurnya, cicilan itu syar'i sehingga risiko buruk sebagaimana dialami cicilan konvensional, tidak terjadi. 

"Warung lain sama?" 

"Mungkin" 

"Ketika banyak saingan maka yang dituntut adalah memperbaiki kualitas seperti mengatasi banyaknya lalat yang berisiko diare. Kenapa tidak cari di youtube cara mengusirnya?" 

Saya diam-diam membandingkan usaha warung makannya dengan rumah makan milik mantan pengusaha Ding Dong.

"Sudah dicoba beberapa cara tapi tak berhasil." 

"Kenapa warung lain lalat kurang sedangkan disini banyak?" 

Warung miliknya terletak hanya beberapa meter dari masjid di jalan utama, lokasi yang teramat strategis.

"Musiman. Lalat akan bertebaran luas terutama pada musim buah. Sekarang musim tlah berganti," kilahnya dari balik masker kain berwarna hijau.

Menu amat bervariasi, nikmat di lathi, relatif lebih murah dengan teknik penyajian prasmanan, merupakan beberapa kelebihan warung miliknya.

Pipinya tembem hingga wajah terlihat lebih bulat bagaikan rembulan. Perutnya juga semakin buncit seperti ibu hamil tua. Itu terjadi sejak doi beralih usaha dari bisnis tailor ke bisnis kuliner. 

"Tubuh chef biasanya begitu," ungkapku dengan senyuman tipis di suatu waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar