Rabu, 15 Juli 2020

BPJS 1

Wow, pasien ini sangatlah unik. Berusia hampir 70 tahun tapi punya daya kritik yang sangat luar biasa. 

Pensiunan BUMN sejak 11 tahun. Memiliki 4 anak kandung dan seorang anak angkat. 

Beliau mempertanyakan 2 jenis obat yang diganti sepihak. 

"Saya tak mempermasalahkan siapa-siapa tapi sebagai orang awam punya hak bertanya," keluhnya dari balik masker.

"Nanti bapak tanyakan kepada apoteker alasan pastinya apa? Boleh jadi obat itu kosong atau sudah tidak ditanggung BPJS." 

"Sekarang iuran BPJS naik 2 kali lipat berdasarkan Perpres padahal tlah dibatalkan MA. Mestinya pelayanan juga ikut meningkat" 

"Banyak anggapan masyarakat bahwa dana itu dialihkan untuk menutupi defisit anggaran. Hati-hati jangan menyalahkan utuh petugas BPJS karena mereka hanya menjalankan kebijakan dari atas sebagaimana nasib PLN."

Rabu, 01 Juli 2020

Politik 4

Bolehlah usianya kita katakan paruh baya menjelang senja namun fisik dan pikirannya tampaknya masih segar bugar. 

Efek dari keterpanggilan mengamati berbagai fenomena alam demokrasi yang makin liar. Dia bagian dari pengamat informal kelas "kentang". Kabar baiknya, politisi yang banyak akal itu biasanya awet muda, lho.

Di warung sederhana, dia berkata, "bantuan sosial dampak corona sudah mulai cair untuk pemilik usaha kecil. Janjian awal berupa dana 500 ribu lalu diganti dengan beberapa unit sembako." 

"Nilai totalnya berapa?" 

"Tidak tahu. Menurut saya lebih baik kompensasi uang untuk menambah modal usaha. Saya perkirakan bantuan itu suatu tanda akan terjadi lonjakan kenaikan harga barang di tahun depan. Contoh kebijakan gratis bayar listrik 450 VA dan diskon 50% listrik 900 VA selama 3 bulan tapi harga listrik terbukti naik setelahnya," ungkapnya.

"Itu wajar karena sumber utama pemasukan negara demokrasi berasal dari pajak (termasuk iuran) dan utang. Ketiganya akan naik seiring waktu apalagi sekarang dipicu dampak global corona."

Saya mengunyah bulatan nyuknyang bakar. Setelah gerakan menelan teraba di leher, saya melanjutkan kisah malam.

"Kenaikan harga sekian persen sebagai tanda inflasi kronik dari sistem moneter kapitalisme. Penyebabnya adalah mata uang kertas yang tak dijamin logam mulia."

"Maunya saya, uang seribu-an diganti dengan dua ribua-an agar kami pedagang lebih untung," dia memperbaiki peci hitam di kepala.

"Itu bisa saja terjadi di masa depan jika keadaan ini terus berlanjut. Biasanya siklus krisis moneter terjadi dalam 10 tahun namun makin kesini mendekati 5 tahunan. Laju lonjakan harga barang dan jasa tak sebanding dengan kenaikan pendapatan."

Dia terdiam sejenak lalu saya melanjutkan cerita malam.

"Dalam sistem Islam, inflasi relatif tak terjadi karena cetakan uang yang beredar luas di masyarakat akan disesuaikan dengan ketersediaan emas dan perak di baitul maal. Akibatnya nilai tukar mata uang akan selalu stabil. Harga barang dan jasa juga akan terjangkau oleh daya beli masyarakat."

Saya meneruskan stori malam.

"Pajak dan iuran warga bukanlah sumber pemasukan utama negara dalam sistem Islam. Keduanya hanya berlaku sebagai jalan terakhir jika kas negara kosong. Bersifat sementara dan wajib pajak hanya berasal dari orang kaya, dewasa dan laki-laki."

Saya menambahkan narasi malam.

"Utang tanpa bunga dan tanpa syarat-syarat yang merugikan atau berpotensi membahayakan kedaulatan negara, boleh diambil sebagai jalan terakhir. Namun saat ini lebih utama, utang negara ditinggalkan saja."

"Sekarang antara ekonomi dan agama tak sejalan. Agama mengatakan bahwa banyak anak banyak rezeki. Tapi sekarang makin banyak anak, pengeluaran semakin besar misalnya untuk kuliah," dia punya anak kuliahan di Kota K.

"Dalil agama itu sudah benar jika kita berada dalam sistem Islam. Misalnya biaya pendidikan itu sebenarnya kewajiban negara di setiap jenjang pendidikan tanpa batasan jumlah anak. Orang tua tak perlu khawatir dengan jumlah anak bahkan jumlah isteri (sampai 4) beserta biaya hidup mereka. Harga kebutuhan sehari-sehari juga akan terjangkau oleh masyarakat."


Haru 6

Cukup terharu dengan acara perpisahan online anak sekolahan pagi menjelang siang, hari ini. 

Melayani pasien poli sambil setor muka secara live melalui aplikasi zoom. Momen bersama untuk terakhir kalinya, terlalu sayang buat dilewatkan.

Jaringan internet putus nyambung - putus nyambung dalam jarak teramat jauh di pulau membuat rangkaian kegiatan tak mampu disimak dengan baik. 

Syukurlah, pihak sekolah mendokumentasikan dan menguploadnya di youtube. Tengah malam ini, saya memutarnya kembali di rumah dinas sendirian. 

Rasanya sedih berpisah dengan teman-teman, guru-guru dan orang tua siswa. Mata berkaca duka melihat berbagai persembahan kreasi ketiganya dalam keterbatasan alam daring. 

Guru tak mampu memeluk hangat anak didik. Siswa tak bisa mencium mesra tangan orang tua kedua. Antar orang tua tak lagi erat berjabat tangan.

Entah bagaimana rasanya aby dan ummy seorang siswa teladan. Keduanya tak mungkin lagi melihat wisuda anaknya. Dia tlah mati di zaman corona.

Terbayang harapan hampir semu, bagaimana capaian cita-cita generasi anak milenial di masa mendatang. Berbagai lini kehidupan akan terpukul jatuh bila angkara murka makhluk ciptaan Tuhan yang imut, tak mereda.

Akan ada pertarungan hebat, menusuk jantung keimanan, menjelang akhir masa. Merangkai keyakinan yang nyata merupakan bekal utama meraih kembali puncak optimisme.

Benarlah sabda alam, senantiasa setiap girang pertemuan diikuti oleh lara perpisahan. Pada akhirnya, semua makhluk bernyawa akan mati lalu kembali kepada takdir Sang Khalik.