Jumat, 25 Februari 2022

Politik 5

"Sepakat!" saya acungi 2 jempol. Alasannya sangat masuk akal terkait perlunya para dokter meningkatkan rasa ingin tahu terhadap perkembangan politik kekinian. 

"Jelang pilpres, para politisi bergerak demi mendapatkan pamor" 

"Bagaimana isu presiden 3 periode?" 

"Hanya sekitar 10-15% yang setuju meski para pimpinan partai seakan-akan sepakat tapi mereka juga punya kepentingan berkuasa sehingga bawahan diikutkan bermain cantik" 

"Rencana pindah ibukota?" 

"Lebih banyak setuju" 

"Ini bukan jebakan buat presiden?" 

"Bukan. Itu sudah lama direncanakan oleh presiden sebelumnya" 

Dia tidak menolak ada kepentingan bisnis tanah disana. Energik, usia hampir 70 tahun & pensiun 10 tahun lalu dari kepolisian, Badan Intelijen & Keamanan. 

Skip 

Berbeda dengan bapak pensiunan Polri, pria pemelihara burung ini memiliki analisa lain tentang isu presiden 3 periode. 

"Di parlemen penuh dengan kepentingan, bisa saja aturan baru itu berlaku dengan imbalan masa jabatan anggota dewan sama-sama diperpanjang 3 periode" 

Hal ini biasa pada sistem politik demokrasi, aturan lahir sebagai hasil kompromi berbagai kepentingan dari penguasa trias politica. 

Terkait rencana perpindahan ibukota, dia berkata, "Itu akan diikuti besarnya ongkos migrasi aparat sipil negara ke sana". 

Ini makin menekan APBN disaat utang negara mendekati angka 6 ribu T. Pihak eksekutif biasa punya dalih lain & seperti tak punya beban karena bayar utang tidak pakai dana pribadi. 

Skip 

Mantan camat, aktivis partai & ormas kepemudaan. Sekarang, sebagai pejabat andalan daerah dari balik tirai & politisi demokratis kawakan hingga ke sum-sum tulang. 

"Politik itu unik, menarik tapi kotor karena menghalalkan segala cara" 

"Sebenarnya, politik bagus bahkan wajib ada pada suatu negara. Kotor bukanlah politik melainkan karena adopsi sistem politik, yaitu demokrasi. Ini wajar karena demokrasi tidak lahir dari rahim Islam. Istilah menghalalkan ataukah mengharamkan itu terminologi Islam sementara demokrasi tak mengenal keduanya" 

"Ya. Politik sekarang dimaknai lain" 

"Politik versi demokrasi adalah seni merebut & mempertahankan kekuasaan. Politik versi Islam ialah kebijakan melayani masyarakat". 

Skip 

Pagi-pagi sekali saat air kali dingin meringis. Orang kantoran masih sepi, hanya satu-satu bisa terhitung jari. Saya bertemu dengan ASN senior, mantan pejabat yang barusan dibebastugaskan. Indikasi kuat efek domino dari pilkada. 

"Menurut UU, pejabat tak mudah dinonjob," jelasnya. 

"Masalahnya, itu kewenangan kepala daerah yang terpilih secara demokratis. Beda jika melalui mekanisme penunjukan seperti di kepolisian & TNI" 

Demi berebutan juara satu, para kandidat beserta tim sukses termasuk penyandang dana, habis-habisan berkorban banyak. 

Sangat wajar setelah terpilih, orang-orang terdekatlah sebagai prioritas utama memperoleh kue jabatan & bunga proyek. Biasa pula disertai uang setoran buat balik modal. 

Skip 

Amat lega terasa bila ayam jago kita memenangkan persaingan. Begitulah kira-kira yang ada dalam benak. Dia pejabat daerah, pengurus parpol & ormas kepemudaan. Dia juga mantan camat, anggota tim sukses dari balik tirai. 

Jika dibandingkan dengan jabatan lewat pemilu (misalnya kepala desa, anggota dewan, bupati, gubernur & presiden), beban camat jauh lebih sedikit. Cukup menjaga hubungan baik dengan bupati terpilih, tak ada hubungan dengan urusan perut tim sukses & para konstituen yang butuh banyak asupan. 

Belum lagi seni menyambung tali komunikasi dengan pengurus partai, ormas, LSM, wartawan bahkan calon pesaing, demi kekuasaan. Semua butuh cuan tapi tidak dengan camat yang terpilih melalui penunjukan.