Selasa, 11 Februari 2020

Dingdong 2

Mantan pemilik Dingdong menceritakan kisah tragis sebuah keluarga pengusaha warung makan. 

"Setelah cekcok dengan isteri, nekat membangun cabang bisnis mengandalkan utang berbunga," ucap pengusaha berambut gondrong.

Belum usai masalah rumah tangga, dihadapkan pada masalah baru bagaimana membangun dari awal bisnis warung makan.

Bekerjasama dengan seorang haji pemilik lahan. Sesuai perjanjian, setiap transaksi akan diberikan kepadanya Rp 1000,- tanpa sewa lahan dan tempat.

Tanah kosong dipinggir jalan itu lalu dibangunkan warung baru dengan utang berbunga dari seorang ibu haji. "Bunga sekitar 40%," jelasnya.

Karena perencanaan kurang matang, sistem akad usaha yang tidak syar'i dan cenderung melarikan diri dari masalah maka hasil usaha baru itu tak sesuai harapan. 

Silih-bergantian tagihan utang berdatangan dari para pemilik modal yang tidak punya beban menanggung risiko kerugian, khas kerjasama konvensional yang tidak syar'i. 

Akibatnya, tambah stres memikirkan bagaimana membayar utang pokok plus bunga per bulan disaat pelanggan belum seberapa banyaknya. Kembali ambil langkah seribu, lari ke Negeri M.

Warisan utang dari Bu Haji dibebankan kepada Pak Haji karena bangunan berada diatas tanahnya. Pak Haji ikutan stres bagaimana bisa melanjutkan bisnis yang tidak dikuasainya itu. Risiko rugi dan rugi lagi.

Pemetik harpa pernah berkata bahwa pinjam-meminjam ribawi sudah biasa berjalan di tengah masyarakat demokratis. Mulai dari kalangan atas hingga kalangan bawah. Pengusaha besar maupun pengusaha kecil. Utang negara sampai utang rumah tangga. 

Sebuah turunan problematika sistem ekonomi kapitalisme yang sudah mendarah daging dan terlanjur menggurita. Bahkan menjadi asas untuk mengembangkan harta kekayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar