Sabtu, 30 Oktober 2021

Tobone 1

Kesalahpahaman terjadi lagi. Kali ini berurusan dengan 2 anak muda, pekerja santuy di Pelabuhan B, Kabupaten B.

Akar masalahnya ada 2. Pertama, keduanya memakai kata "hendak membantu" namun berujung pada permintaan upah. Membantu itu berarti memberikan bantuan tanpa pamrih.

Namun pada lokasi, kebiasaan dan ideologi tertentu, istilah ini telah berpadu dengan 2 sayap pengertian yang berbeda.

Baru saja, kira-kira 2 jam sebelumnya, driver andalan mengutarakan suatu problema yang terjadi di kabupaten itu. Mangkraknya tambang logam karena mendapatkan pertentangan massal dari warga lokal.

"Mungkin saja warga takut dengan risiko kerusakan alam"

Pandangan matanya tajam ke depan bagaikan si mata elang, kedua tangan mempertahankan posisi setir mobil seperti si tangan kangguru dan kedua telinga siaga dari berbagai suara bak si kuping kelinci.

"Bapak yang pernah lama kerja di Pulau K, benarkah disana kerusakan lingkungan marak terjadi ?"

"Ya. Bekas-bekas galian tambang berubah menjadi danau. Airnya jernih namun tak ada tumbuhan dan ikan yang bisa hidup. Kandungan zat beracun sangatlah tinggi. Tanah juga berubah tandus karena tanaman hutan musnah ditebang dan dibakar"

"Bukankah ada aturan, perusahaan wajib melakukan reboisasi?"

"Itu berlaku setelah pertambangan selesai. Kebanyakan perusahaan berlepas tangan begitu pekerjaan mereka selesai.

"Mungkin juga, perusahaan tidak mau peduli untuk memperbaiki kerusakan alam karena butuh biaya tambahan. Logika perusahaan swasta kapitalis bagaimana caranya memperoleh keuntungan sebesar mungkin dengan modal sekecil-kecilnya."

"Ya. Dananya milyaran sekali kontrak kerja untuk memperbaikinya."

Solusi Islam pada pertambangan skala besar adalah pengelolaannya berada pada tanggung jawab negara. Tanpa memakai logika untung rugi tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab kepada rakyat.

Tanah pertambangan besar merupakan milik umum menurut ideologi Islam, bukan milik swasta dan juga bukan milik negara. Tanah pertambangan menjadi milik swasta pada ideologi kapitalisme dan milik negara pada ideologi sosialisme.

Negara hanyalah sebagai wakil rakyat untuk mengolahnya sehingga hasilnya dikembalikan utuh kepada rakyat setelah mengeluarkan biaya produksi, pengolahan dan distribusi, termasuk ongkos reboisasi hutan dan revegetasi lahan bekas tambang.

Dia membenarkan informasi tentang adanya ratusan pekerja tambang dari negara lain yang berdatangan hampir setiap hari.

Modus penjajahan negara kapitalisme sungguh takkan berubah. Pengalaman sejarah membuktikan, Negara-Negara Eropa di masa lalu, termasuk Belanda, membuat koloni di negara-negara jajahan, bermula dari kepentingan ekonomi dengan berdirinya VOC.

Tentara-tentara asing lalu didatangkan dengan alasan yang "lebih masuk akal", yaitu melindungi kepentingan dan monopoli perniagaan rempah-rempah. Para sultan berusaha dibantu oleh pihak penjajah sedangkan para bangsawan yang tak mau bekerja sama akan disingkirkan.

"Bantuan menurut mereka bukan gratis sebagaimana kelakuan kita saat menyumbang masjid. No free lunch, tak ada makan siang yang gratis, versi mereka"

Bantuan negara-negara utama di dunia saat ini dominan bermotifkan politis, yaitu demi mempertahankan dan merebut hegemoni ekonomi dan politik (termasuk militer).

Sedangkan bantuan 2 anak muda yang polos diatas hanyalah bermotifkan uang untuk biaya mempertahankan hidup.

Kerasnya kehidupan demokratis sebagai risiko wajar dari dominasi ideologi selain Islam. al Qur'an (QS. Thaahaa : 124) menyebut keadaan seperti itu dengan istilah "penghidupan yang sempit" alias ma'isyatan dhanka. Hidup memang pahit dan lebih pahit daripada kopi hitam kita.

Kedua, akadnya sepihak, yaitu dari mereka berdua setelah transaksi selesai. Mestinya, sebagaimana yang saya pelajari dari kajian sistem ekonomi Islam, akad itu mestilah kesepakatan dari 2 pihak, yaitu saya dengan mereka. Bukan sepihak, yaitu hanya dari mereka.

Kesepakatan itu juga mesti dilakukan sebelum transaksi dan bukan setelahnya. Diatas kapal ferry, saya berdebat untuk mengajari tentang akad bisnis kepada keduanya beserta 1 temannya yang lain.

"Mestinya dari awal kalian menjelaskan bahwa ini ada bayarannya. Jika kita sepakat maka berlanjut kepada kesepakatan berikutnya yaitu berapa rupiah nilai jasanya."

Rupanya kebiasaan ini sudah berlangsung sejak lama dan berpotensi menimbulkan konflik. Juga tidak hanya terjadi di pelabuhan tetapi seringkali kita bisa jumpai di terminal-terminal bis termasuk Terminal D di Kota M. Ini diinfokan oleh 3 penumpang kapal ferry kepada saya.

Ada informasi, sebagian mobil dan penumpang enggan singgah ke terminal karena adanya biaya-biaya tambahan yang tidak resmi.

Sepertinya, pengetahuan akad bisnis versi syari'ah sangatlah penting kita pahami. Ditengah dominasi sistem ekonomi kapitalis, berkembang pula transaksi non syariah yang berbungkuskan syari'ah. Dimanakah posisi mereka yang bermata jeli ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar